JUJUR KIAT MENUJU SELAMAT
Mukadimah
Jujur adalah sebuah ungkapan yang
acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi
pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan belum menyentuh
pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara kejujuran
merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu
akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak
cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan sebagainya.
Jujur merupakan sifat yang terpuji.
Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan
yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah,
jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terdapat
dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda,
“Senantiasalah kalian jujur, karena
sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa
kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur,
akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah
kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan
membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta,
hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”
Definisi Jujur
Jujur bermakna keselarasan antara
berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan
keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka
dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan,
sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang
ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai
seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa
yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik
tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya
sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga
pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi,
tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat
seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang
munafik.
Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman
asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka,
tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling
bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat
bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali
kejujurannya (kebenarannya).
Allah berfirman,
“Ini adalah suatu hari yang
bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.”
(QS. al-Maidah: 119)
“Dan orang yang membawa kebenaran
(Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
(QS. az-Zumar: 33)
Keutamaan Jujur
Nabi menganjurkan umatnya untuk
selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan
mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh
Nabi,
“Sesungguhnya kejujuran membawa
kepada kebajikan.”
Kebajikan adalah segala sesuatu yang
meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada
sesama.
Sifat jujur merupakan alamat
keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si
pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat.
Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia
dan selamat dari segala keburukan.
Kejujuran senantiasa mendatangkan
berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam
dari Nabi, beliau bersabda,
“Penjual dan pembeli diberi
kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta
membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat
berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan
mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan,
maka akan terhapus keberkahannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini
merupakan bukti yang nyata– kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah
dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba
datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut
mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya
kebahagian dunia dan akherat.
Tidaklah kita dapati seorang yang jujur,
melainkan orang lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan
merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak
merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang
jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.
Orang yang jujur diberi amanah baik
berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan
kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat
menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya.
Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan
dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati.
Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf),
melarang (dari yang mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia
disisi Allah dan sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai,
dihormati dan dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya
mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’
mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik
dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya
semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu
daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali
kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan
celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul
dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan
keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup,
pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan
yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak.
Seorang yang beriman dan jujur,
tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan
hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah
yang berikut,
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
(QS. at-Taubah: 119)
“Ini adalah suatu hari yang
bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang
di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah
keberuntungan yang paling besar.” (QS. al-Maidah: 119)
“Di antara orang-orang mukmin itu
ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di
antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang
menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).”
(QS. al-Ahzab: 23)
“Tetapi jikalau mereka benar
(imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”
(QS. Muhammad: 21)
Nabi bersabda, “Tinggalkan apa
yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran,
(mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”
Macam-Macam Kejujuran
- Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada
keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka
akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai
pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu
seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai
ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan
maksud mereka.
- Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga
lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam
ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara
macam-macam kejujuran.
- Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti
ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan
membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah
tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal
ini sebagaimana firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
Dalam ayat
yang lain, Allah berfirman,
“Dan
di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika
Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan
bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah
Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan
karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu
membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)
- Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah
dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin,
sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang
hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang
benar/jujur.’”
- Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang
paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam
rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat,
dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang
menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah
benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”
(QS. al-Hujurat: 15)
Realisasi perkara-perkara ini
membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga
dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai
keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat.
Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada
setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia
jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah
menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain
mengetahuinya.
Khatimah
Orang yang selalu berbuat kebenaran
dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal
tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar
menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,
“Dan katakanlah (wahai Muhammad),
‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula)
aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan
yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80)
Allah juga mengabarkan tentang Nabi
Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang
baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.”
(QS. asy-Syu’ara’: 84)
Hakikat kejujuran dalam hal ini
adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai
kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah
telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka
atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran.
Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)
Di sini dijelaskan dengan terang
bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan
dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi
dari keislaman dan keamanan.
Orang yang menampakkan keislaman
pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman)
dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran
dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat
keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman
Allah,
“(Juga) bagi para fuqara yang
berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena)
mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
(QS. al-Hasyr: 8)
Lawan dari jujur adalah dusta. Dan
dusta termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah,
“Kita minta supaya laknat Allah
ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali
Imran: 61)
Dusta merupakan tanda dari
kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga
perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan
apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR.
Bukhari, Kitab-Iman: 32)
Kedustaan akan mengantarkan kepada
kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya
kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka
wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita.
Dengan demikian jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan
mendapatkan pahala sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para
pendusta. Waallahu A’lam.
“Maka siapakah yang lebih zalim
daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran
ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal
bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa
yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang
yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan
yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. az-Zumar: 32-35)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar