Belajarlah
Dari Orang Yang Lalai
oleh Aidh Al-Qarni
Adz-Dzahabi menceritakan bahwa
ketika sakaratul maut menghampiri Abdul Malik bin Marwan, ia mendengar tukang
cuci dari samping istananya. Ia pun berkata, “Oh, sekiranya aku tukang cuci
biasa … Seandainya ibuku tidak melahirkanku … Seandianya aku tidak menjabat
khalifah…”
Sa’id bin Musayyab, tabi’in
terkemuka, mengatakan , saat mendengar ini, “Alhamdulillah”, Allah telah
membuat mereka lari ke kita di saat meninggal, bukan kita yang lari ke mereka”.
Kita berlindung kepada Allah dari kehidupan seperti ini, yang membuat kita
lengah dan lalai.
Abdul Malik bin Marwan, sewaktu
berhasil mengalahkan para penentangnya dan membunuh Mush’af bin Zubair di Irak,
membentangkan mushaf di hari ia diangkat menjadi Khalifah. Ia membaca mush’af
tersebut, lalu menutupnya kembali seraya berkata, “Ini adalah kali terakhirku
denganmu!” Lalu, komentar Ad-Dzahabi dalam siyar A’laamin – Nurbalaa, “Ya
Allah, jangan perdayakan kami”.
Bandingkan dengan Sa’ad bin Abi
Waqqash, salah seorang yang dijamin masuk surga. Ketika sekarat, ia didatangi
oleh anak perempuannya yang menangis dekat kepalanya. “Jangan menangis,
putriku. Demi Allah, aku ini termasuk penduduk surga!”, ucapnya. Ia benar …
beruntung dan berbahagialah Sa’id! Nabi Shallahu alaihi wa sallam telah
mengabarkan bahwa Sa’ad termasuk penduduk surga.
Betapa jauh perbedaan orang itu.
Betapa jauh perbedaan akhir kehidupan keduanya. Tak dapat dibandingkan antara
keduanya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, sang
khalifah, sedang sekarat. Ia turun dari singgasananya, menyingkap permadani,
dan menyapukan debu ke wajahnya. Allah Ta’ala berfirman :
مَن
كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ
أُولَٰئِكَ
الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا
فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan merka
di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali neraka, dan
sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan di dunia dan terhapuslah apa
yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Hud : 15-16)
Muawiyah melanjutkan, “Aku tidak
mempunyai bekal apapun yang lebih ampuh dari Laa ilaaha illallaah Muhammad
Rasulullah”. Muawiyah melanjutkan, “Bila meninggal nanti, kafanilah aku dengan
gaun yang kuperoleh dari Rasulullah shallahu alaihi wa sallam. Ada botol di
ruangan kantor kekhalifahan berisi kuku dan rambut Rasulullah! Taruhlah kuku
dan rambut tersebut pada mata dan hidungku”. Ia lalu pergi menghadap Allah.
Harun Ar-Rasyid, menjelang ajalnya
datang, mengadkan parade militer. Ia memandangi tentaranya, berdo’a : “Wahai
Yang Kekuasaan-Nya tidak lenyap, rahmatilah orang yang kekuasaannya sirna”.
Al-Watsiq, pemangku jabatan khalifah
sesudah Al-Mu’tashim, adalah orang yang kejam tidak kenal ampun. Dialah yang
memenggal kepala Ahmad bin Nashr All-Khuza’I, ulama masyhur, salah satu pucuk
pimpinan Ahlul Sunnah wal Jama’ah dan termasuk ulama terkemuka, serta penulis
kitab al-I’tishaam bil-Kitab was-Sunnah.
Ketika itu beliau menghadap
Al-Watsiq. Al-Watsiq menyuruhnya mengakui bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk.
Akan tetapi, ia menolak, menentang, dan tidak mau menerima. Al-Watsiq maju
dengan sebilah pisau kecil, menusukkannya ke dadanya. Ia menyembelihnya seperti
menyembelih kambing.
Kemudian, Al-Watsiq pada saat
sekarat, sebagaimana dituturkan oleh As-Suyuthi dalam Taariikhul Khulafa’,
begitu mereka membaringkannya setelah ia meninggal dan menyerahkan ruhnya
kepada Allah, datangnya seekor tikus yang mengambil kedua matanya dan
memakannya!” Peristiwa ini dipelihatkan oleh Allah kepada manusia-manusia
diktator di dunia ini.
Thawus, ulama Yaman, datangmenghadap
Abu Ja’far al-Mansur.Abu Ja’far adalah oran gyang sangat kejam. Ia telah
memenggal kepala para raja, pangeran, dan menteri. Ia dalah seorang paling
cerdik. Namun, akhirnya pergi juga menghadap Allah. Seekor lalat selalu hinggap
di pucuk hidungnya. Ia mengusirnya, namun lalat itu datang lagi.
“Untuk apa Allah menciptakan lalat,
wahai Thawus?”, tanya Abu Ja’far. “Untuk menghinakan kesombongan para tiran”,
jawab Thawus. Abu Ja’far terdiam. Lalu ia berkata, “Tolong ambilkan tempat
tintat itu”. “Tidak.Demi Allah. Kalau yang akan tuan tulis kebathilan, saya
tidak akan membantu tuan untuk sebuah kebathilan”, ujar Thawus, seraya meninggalkan
Abu Ja’far Al-Mansur.
Begitulah sikap yang ditampilkan
para ulama yang bertakwa dihadapan orang-orang lalai. Ibnu Abi Dzi’b didatangi
oleh AlMahdi di Masjid Nabawi. Al-Mahdi adalah seorang Khalifah, putra Abu
Ja’far al-Manshur. Orang-orang berdiri, kecuali Ibnu Dzi’b. “Mengapa engkau
tidak berdiri menyambut kami seperti yang dilakukan orang-orang?”, tanya
Al-Mahdi. Ibn Dzi’b menjawab : “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia,
sebetulnya saya mau berdiri menyambut. Tapi saya teringat firman Allah, “Yaitu
pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam”.
(Al-Muthafiffin : 6). Karena itulah aku urung berdiri”. “Duduklah! Demi Allah,
semua rambut di kepalaku berdiri mendengarnya”, ucap Al-Mahdi.
Abdul Haq al-Isybili menyebutkan
bahwa Al-Mu’tashim dijemput kematian. Al-Mu’tashim , penglima militer sekaligus
khalifah yang menaklukkan Amuria dengan sembilan puluh ribu prajurit. “Sembilan
puluh ribu prajurit bagai singa, kulit mereka matang lebih cepat dari buah tin
dan anggur”.
Sebagian para sejarawan mengatakan
bahwa ia eprnah meraih lempengan besi lalu menulsikan namanya, karena saking
kuatnya. Ia termasuk orang yang paling perkasa. Bahkan seorang ahli hadist
berkisah, “Saya menghadap al-Mu’tashim . Ia mengulurkan tangannya kepada saya,
lalu berkata, “Aku memintamu, atas nama Allah, untuk menggigit tanganku”. “Saya
pun menggigit tangannhya”, lanjut ahli hadist itu. “Demi Allah, gigitanku tidak
berbekas pada tangannya”.
Tapi, keperkasaan Al-Mu’tashim itu
tidak berdaya saat menghadapi kematian si pemusnah kenikmatan, pemisahkumpulan,
dan perampas anak laki-laki dan perempuan. Ajal al-Mu’tashim tiba. “Apakah hari
ini aku akan mati?”, tanyanya. “Ya, hari ini Tuan akan mati”, jawab
orang-orang. Dia masih sangat muda, baru empat puluh tahun umurnya. Orang
mengira ia tidak akan mati sebelum umur tujuh puluh tahun. Allah berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ
لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang
telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. al-Hasyr : 18)
Orang-orang asyik bermaksiat hanya
akan sadar saat sekarat. Betapa banyak penceramah menyampaikan! Betapa banyak
ulama berbicara! Betapa banyak da’i sudah menyerukan. Namun, sebagian baru
menjawab ketika nyawanya sudah meregang di dada. Laa illaaha illallaah. Betapa
lalainya manusia. Wallahu’alam.
saat menjemput maut/al-qalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar